Minggu, 21 Februari 2016

Fase Krisis: 1997-2001

Fase Krisis: 1997-2001

Ketika sektor pertanian harus menanggung dampak krisis ekonomi untuk menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya tahan sektor pertanian tidak cukup kuat. Benar, pada periode 1998-2000sektor pertanian sempat menjadi penyelamat ekonomi Indonesia, itu pun
karena limpahan lonjakan nilai tukar dollar AS yang dinikmati komoditas
ekspor sektor pertanian terutama perkebunan dan perikanan. Namun ketika
basis utama untuk membangun kualitas pertumbuhan sektor pertanian
dilupakan begitu saja, sektor pertanian hanya tumbuh sekitar 1-2 persen.
Tingkat pertumbuhan sebesar itu tentu saja tidak mampu menciptakan
lapangan kerja, apalagi jika harus menyerap pertumbuhan tenaga kerja baru,
terutama di pedesaan.
Akibatnya dalam dua tahun terakhir sektor pertanian (dan petani)
terus-menerus terpojok dan terpinggirkan. Tidak perlu disebut lagi betapa
pada musim kemarau petani harus menderita paling parah karena
infrastruktur penting seperti bendungan dan saluran irigasi lalai diurus, baik
oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah. Kualitas jalan
rusak parah dan mengganggu sistem distribusi komoditas strategis, sehingga
meningkatkan biaya transportasi secara signifikan. Dampak berikutnya
adalah harga jual di tingkat konsumen melambung tinggi dan harga di tingkat
petani produsen nyaris tidak berubah, sehingga tidak cukup menjadi insentif
bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Dalam
bahasa ekonomi, elastisitas transmisi harga dari konsumen ke produsen
sangat kecil sehingga petanilah yang harus menanggung perbedaan harga di
tingkat konsumen dan tingkat produsen tersebut.
Fakta dan data sampai saat ini masih tidak terlalu berubah drastis
bahwa sektor pertanian masih merupakan basis ekonomi rakyat di
pedesaan, atau masih merupakan tumpuan harapan bagi hampir 80 persen
penduduk Indonesia. Walaupun pangsa terhadap perekonomian PDB telah
menurun menjadi sekitar 16 persen saja, sektor pertanian masih mampu
menyerap sekitar 50 persen tenaga kerja, terutama di pedesaan. Dengan
kata lain, Indonesia masih memerlukan sektor pertanian sebagai basis
pembangunan ekonomi sampai sekian tahun ke depan. Sektor pertanian
saat ini jelas memerlukan langkah-langkah nyata untuk merangsang
investasi, meningkatkan nilai tambah dan mencari pasar-pasar baru di dalam
negeri dan luar negeri. Keseriusan upaya merangsang pertumbuhan tinggi di
sektor pertanian adalah suatu keharusan, apabila pengembangan sistem
agribisnis berkerakyatan yang lebih modern dan mengikuti irama
desentralisasi dan responsif terhadap perubahan global, memang akan
dijadikan prioritas. Namun perubahan kebijakan desentralisasi ekonomi dan
Otonomi Daerah yang seharusnya membawa kesejahteraan pada
masyarakat, ternyata hanya menimbulkan euforia politik berupa perubahan

kewenangan pada sekolompok kecil elit di daerah.

Tidak ada komentar: