Fase
Dekonstruksi: 1986 – 1997
Pada
periode 1986 – 1997 sektor pertanian memang mengalami
kontraksi
tingkat pertumbuhan dibawah 3,4 persen per tahun, amat kontras
dengan
periode sebelumnya. Periode 1986-1997 ini sering dinamakan fase
dekonstruksi
karena sektor pertanian mengalami fase pengacuhan
(ignorance)
oleh para perumus kebijakan dan bahkan oleh para ekonom
sendiri.
Anggapan keberhasilan swasembada pangan telah menimbulkan
persepsi
bahwa pembangunan agribisnis akan bergulir dengan sendirinya
(taken
for granted) dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras
yang
terjadi pada periode-periode sebelumnya. Indikasi fase buruk sektor
pertanian
sebenarnya telah muncul pada awal 1990-an ketika kebijakan
teknokratik
pembangunan ekonomi mengarah pada strategi industrialisasi
footloose
secara
besar-besaran.
Sejak
pertengahan 1980-an berbagai komponen proteksi untuk sektor
industri
diberikan, yang membawa dampak pada kinerja sektor industri dan
manufaktur
yang tumbuh pesat diatas dua digit. Hampir semua merasa
bangga
bahwa proses transformasi struktur perekonomian telah membawa
hasil.
Maksudnya Indonesia telah bertransformasi dari negara agraris
menjadi
negara industri. Mungkin saja, proteksi yang diberikan kepada sektor
industri
– tepatnya kepada beberapa pelaku tertentu saja – tidak disadari
oleh
para perumus kebijakan waktu merugikan sektor pertanian.
Kebijakan
agribisnis pun terkesan amat distortif karena dampak yang
ditimbulkan
justru meresahkan masyarakat. Generalisasi beberapa studi
empiris
yang menyimpulkan bahwa rantai tataniaga komoditas agribisnis
terlalu
panjang – sehingga harus diperpendek – telah menjadi salah satu
penyebab
ambruknya tingkat kesejahteraan petani dan melencengnya
pembangunan
agribisnis di Indonesia. Efisiensi pemasaran tidak hanya
ditentukan
dari panjang atau pendeknya rantai tataniaga, tetapi ditentukan
oleh
tingkat balas jasa yang fair sesuai dengan jasa yang dikeluarkan oleh
sekian
pelaku pemasaran yang terlibat. Artinya, solusi kebijakan untuk
memangkas
rantai tataniaga dan mendirikan suatu lembaga pemasaran baru
–
walau sering mengatas-namakan koperasi dan pembela kesejahteraan
petani
– haruslah diaplikasikan secara spesifik dan hati-hati. Apalagi,
karakter
perburuan rente (rent-seeking) dari pelaku ekonomi dan birokrasi
yang
amat sentralistis tidak begitu saja mampu membawa visi kesejahteraan
seperti
diamanatkan oleh suatu tujuan kebijakan.
Dampak
paling buruk dari proses industrialisasi yang ditempuh
dengan
cara konglomerasi tersebut adalah tidak meratanya pembangunan
antara
pedesaan dan di perkotaan, bahkan antara Jawa dan luar Jawa
secara
umum. Semua orang tahu bahwa antiklimaks dari proses
pembangunan
yang amat timpang tersebut ikut berkontribusi pada krisis
ekonomi
Indonesia, yang sebenarnya secara teknis hanya dipicu oleh krisis
nilai
tukar dan krisis perbankan (moneter). Indonesia tidak berhasil
melokalisir
krisis moneter tersebut karena berdampak luas pada sendi-sendi
perekonomian
dan sistem politik yang sedang menjadi bentuk dan jatidirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar