Sabtu, 20 Februari 2016

Fase Dekonstruksi: 1986 – 1997

Fase Dekonstruksi: 1986 – 1997
Pada periode 1986 – 1997 sektor pertanian memang mengalami
kontraksi tingkat pertumbuhan dibawah 3,4 persen per tahun, amat kontras
dengan periode sebelumnya. Periode 1986-1997 ini sering dinamakan fase
dekonstruksi karena sektor pertanian mengalami fase pengacuhan
(ignorance) oleh para perumus kebijakan dan bahkan oleh para ekonom
sendiri. Anggapan keberhasilan swasembada pangan telah menimbulkan
persepsi bahwa pembangunan agribisnis akan bergulir dengan sendirinya
(taken for granted) dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras
yang terjadi pada periode-periode sebelumnya. Indikasi fase buruk sektor
pertanian sebenarnya telah muncul pada awal 1990-an ketika kebijakan
teknokratik pembangunan ekonomi mengarah pada strategi industrialisasi
footloose secara besar-besaran.
Sejak pertengahan 1980-an berbagai komponen proteksi untuk sektor
industri diberikan, yang membawa dampak pada kinerja sektor industri dan
manufaktur yang tumbuh pesat diatas dua digit. Hampir semua merasa
bangga bahwa proses transformasi struktur perekonomian telah membawa
hasil. Maksudnya Indonesia telah bertransformasi dari negara agraris
menjadi negara industri. Mungkin saja, proteksi yang diberikan kepada sektor
industri – tepatnya kepada beberapa pelaku tertentu saja – tidak disadari
oleh para perumus kebijakan waktu merugikan sektor pertanian.
Kebijakan agribisnis pun terkesan amat distortif karena dampak yang
ditimbulkan justru meresahkan masyarakat. Generalisasi beberapa studi
empiris yang menyimpulkan bahwa rantai tataniaga komoditas agribisnis
terlalu panjang – sehingga harus diperpendek – telah menjadi salah satu
penyebab ambruknya tingkat kesejahteraan petani dan melencengnya
pembangunan agribisnis di Indonesia. Efisiensi pemasaran tidak hanya
ditentukan dari panjang atau pendeknya rantai tataniaga, tetapi ditentukan
oleh tingkat balas jasa yang fair sesuai dengan jasa yang dikeluarkan oleh
sekian pelaku pemasaran yang terlibat. Artinya, solusi kebijakan untuk
memangkas rantai tataniaga dan mendirikan suatu lembaga pemasaran baru
– walau sering mengatas-namakan koperasi dan pembela kesejahteraan
petani – haruslah diaplikasikan secara spesifik dan hati-hati. Apalagi,
karakter perburuan rente (rent-seeking) dari pelaku ekonomi dan birokrasi
yang amat sentralistis tidak begitu saja mampu membawa visi kesejahteraan
seperti diamanatkan oleh suatu tujuan kebijakan.
Dampak paling buruk dari proses industrialisasi yang ditempuh
dengan cara konglomerasi tersebut adalah tidak meratanya pembangunan
antara pedesaan dan di perkotaan, bahkan antara Jawa dan luar Jawa
secara umum. Semua orang tahu bahwa antiklimaks dari proses
pembangunan yang amat timpang tersebut ikut berkontribusi pada krisis
ekonomi Indonesia, yang sebenarnya secara teknis hanya dipicu oleh krisis
nilai tukar dan krisis perbankan (moneter). Indonesia tidak berhasil
melokalisir krisis moneter tersebut karena berdampak luas pada sendi-sendi

perekonomian dan sistem politik yang sedang menjadi bentuk dan jatidirinya.

Tidak ada komentar: